BAB I :
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Perilaku menyimpang yang juga biasa
dikenal dengan nama penyimpangan sosial adalah perilaku yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan ataukepatutan, baik dalam sudut
pandang kemanusiaan (agama)
secara individumaupun
pembenarannya sebagai bagian daripada makhluk sosial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia perilaku
menyimpang diartikan sebagai tingkah
laku, perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang
bertentangan dengan norma-norma dan hukum yang ada
di dalam masyarakat.
Dalam kehidupan masyarakat,
semua tindakan manusia dibatasi
oleh aturan (norma) untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan sesuatu yang
dianggap baik oleh masyarakat. Namun demikian di tengah kehidupan masyarakat
kadang-kadang masih kita jumpai tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan
aturan (norma) yang berlaku pada masyarakat, misalnya seorang siswa menyontek
pada saat ulangan, berbohong, mencuri, dan mengganggu siswa lain.
Berikut ini
beberapa definisi dari perilaku menyimpang yang dijelaskan oleh beberapa
ahli sosiologi :
1.
Menurut James Worker
Van der Zaden. Penyimpangan sosial adalahperilaku yang
oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang terceladan di luar batas toleransi.
2.
Menurut Robert
Muhamad Zaenal Lawang. Penyimpangan sosial adalah semua tindakan
yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dan menimbulkan usaha
dari yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang
tersebut.
3.
Menurut Paul Band Horton.
Penyimpangan sosial adalah setiap perilaku yang dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap
norma-norma kelompokatau masyarakat.
Penyimpangan sosial harus bisa
didefinisikan, dan penyimpangan sosial pun dapat diterima maupun ditolak dalam
lingkungan sosial semua tergantung kepada penjelasan yang melatarbelakangi
penyimpangan tersebut dan sudut pandang setiap individu di lingkungan sosial.
Dalam
pembahasan, kami dari Kelompok 4 Psikologi akan membahas salah satu
penyimpangan sosial yang sedang menjadi perbincangan dan perdebatan hangat di
dalam masyarakat global yaitu Penyimpangan Seksual.
Orientasi Seksual adalah pola
ketertarikan seksual emosional, romantic, dan atau seksual terhadap lelaki,
perempuan, keduanya, tidak satupun, atau jenis kelamin lainnya. Americal Psychological Asociation (APA) menyebutkan
bahwa istilah ini juga merujuk pada perasaaan seseorang terhadap “identitas
pribadi” dan sosial berdasarkan ketertarikan itu, perilaku pengungkapannya, dan
kenaggotaan pada komunitas yang sama.
Orientasi seksual biasanya
dikelompokkan oleh gender ataupun jenis kelamin yang dianggap menarik oleh
seseorang, yaitu heteroseksual, homoseksual, biseksual. Pada pembahasan kali ini
kami akan membahas mengenai homoseksual sebagai Perilaku Seksual Menyimpang di lingkungan sosial.
1.2
Tampilan Masalah
1.
Definisi dan penjelasan tentang Homoseksual
2.
Faktor yang menyebabkan seseorang menjadi homoseksual
3.
Homoseksual dan psikologi
3.
Homoseksual di Indonesia
4.
Bagaimana cara kita menerima kaum homoseksual dalam lingkungan sosial
BAB
II: ISI ARGUMENTASI
Pengertian
Homoseksual
Homoseksual menurut Wikipedia
Bahasa Indonesia adalah rasa ketertarikan romantis dan atau perilaku
antar individu berjenis kelamin atau gender yang sama. Sedangkan menurut lgbtindonesia.com
yang merupakan forum Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender di
Indonesia, arti Homoseksualitas adalah
suatu kecenderungan yang terdapat dalam diri seseorang dimana dia merasa merasa
tertarik secara seksual dengan kaum sejenisnya (pria dengan pria, wanita dengan
wanita).
Ada 2 kelompok berbeda dalam menyikapi Seksualitas, yakni, kelompok esensialism dan kelompok social constructionism. Kelompok esensial meyakini bahwa jenis kelamin, orientasi seksual, dan identitas seksual merupakan hal yang natural dan terberi sehingga tidak berubah. Pada pandangan yang kedua, yakni social contructionism, seks, gender, dan orientasi seksual tercipta dari adanya kontruksi sosial. Sebagai sebuah konstruksi sosial, seksualitas bersifat cair, dan merupakan suatu kontinum sehingga jenis kelamin tidak hanya terdiri dari laki-laki dan perempuan namun juga intersex dan transgender/transeksual, orientasi seksual tidak hanya heteroseksual namun juga homoseksual dan biseksual.
Ada
beberapa faktor yang membuat pribadi menjadi seorang homoseksual yaitu:
1. Penyebab homoseksual menurut para ahli dapat dijelaskan dengan berbagai pandangan. Penyebab homoseksual bisa karena pengaruh biologis, sosiologis, psikologis maupun interaksi dari biologis dan sosiologis. Orientasi seksual orang lebih banyak ditentukan oleh kombinasi antara faktor genetik, hormonal, kognitif, dan lingkungan (McWhirter, Reinisch & Sanders, 1989; Money, 1987; Savin – Williams & Rodriguez, 1993; Whitman, Diamond & Martin, 1993, dalam Santrock, 2002)
1. Penyebab homoseksual menurut para ahli dapat dijelaskan dengan berbagai pandangan. Penyebab homoseksual bisa karena pengaruh biologis, sosiologis, psikologis maupun interaksi dari biologis dan sosiologis. Orientasi seksual orang lebih banyak ditentukan oleh kombinasi antara faktor genetik, hormonal, kognitif, dan lingkungan (McWhirter, Reinisch & Sanders, 1989; Money, 1987; Savin – Williams & Rodriguez, 1993; Whitman, Diamond & Martin, 1993, dalam Santrock, 2002)
2. Pendapat lain juga
muncul dari sebagian besar ahli tentang homoseksualitas, bahwa mereka percaya
bahwa tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan homoseksualitas dan bobot
masing-masing faktor berbeda-beda dari satu orang ke orang yang lain.
Akibatnya, tidak ada satu orangpun yang mengetahui secara pasti penyebab
seseorang menjadi seorang homoseksual (Santrock, 2002)
3. Selain itu teori
behavioral menganggap bahwa, perilaku homoseksual adalah perilaku yang
dipelajari, diakibatkan perilaku homoseksual yang mendatangkan hadiah atau
penguat yang menyenangkan atau pemberian hukuman atau penguat negatif terhadap
perilaku heteroseksual. Sebagai contoh, seseorang bisa saja memiliki hubungan
dengan sesama jenis menyenangkan, dan berpasangan dengan lawan jenis adalah hal
yang menakutkan, dalam fantasinya, orang tersebut bisa saja berfokus pada
hubungan sesama jenis, menguatkan kesenangannya dengan masturbasi. Bahkan pada
masa dewasa, beberapa pria dan wanita bergerak menuju perilaku dan hubungan
sesama jenis jika mereka mengalami hubungan heteroseksual yang buruk dan
hubungan homoseksual yang menyenangkan (Masters & Johnson, 1979, dalam
Carroll, 2005).
Adapun tahapan pembentukan perilaku homoseksual yang dikemukakan oleh Vivienne Cass yang merupakan seorang psikolog dari Australia yang bekerja sebagai clinical tutor di Department of Psychology University of Western Australia dan Consultant Psychologist di Homosexual Counseling Service of Western Australia yang menyebutkan dalam jurnalnya (Cass, V. (1979). Homosexual identity formation: A theoretical model. Journal of Homosexuality, 4 (3), 219-235.) yaitu yang dikenal dengan Cass Identity Model :
1. Identity Confusion
: Individu mulai percaya bahwa perilakunya bisa didefinisikan sebagai gay atau
lesbian. Mungkin saja timbul keinginan untuk mendefinisikan kembali konsep
orang tersebut terhadap perilaku gay dan lesbian, dengan segala bias dan
informasi salah yang dimiliki sebagian besar orang. Orang tersebut bisa menerim
peran tersebut dan mencari informasi, menekan dan menghalangi semua perilaku
gay dan lesbian, atau menyangkal kemiripan dengan semua identitasnya (seperti
pria yang memiliki hubungan sesama jenis di penjara namun tidak percaya bahwa
dia adalah gay ”yang sebenarnya”).
2. Identity Comparison
: Individu menerima potensi identitas dirinya gay; menolak model heteroseksual
tetapi tidak menemukan penggantinya. Orang tersebut mungkin merasa berbeda dan
bahkan kehilangan. Orang yang berada dalam tahapan ini masih menyangkal
homoseksualitasnya. Ia berpura-pura sebagai seorang heteroseksual.
3. Identity Tolerance
: Pada tahap ini, individu mulai berpindah pada keyakinan bahwa dirinya mungkin
gay atau lesbian dan mulai mencari komunitas homoseksual sebagai kebutuhan
sosial, seksual dan emosional. Kebingungan menurun, tapi identitas diri masih
pada tahap toleransi, bukan sepenuhnya diterima. Biasanya, individu masih tidak
membeberkan identitas barunya pada dunia heteroseksual dan tetap menjalankan
gaya hidup ganda.
4. Identity Acceptance
: Pandangan positif tentang identitas diri mulai dibentuk, hubungan dan
jaringan gay dan lesbian mulai berkembang. Pembukaan jati diri selektif kepada
teman dan keluarga mulai dibuat, dan individu sering membenamkan dirinya
sendiri dalam budaya homoseksual.
5. Identity Pride :
Kebanggaan sebagai homoseksual mulai dikembangkan, dan kemarahan terhadap
pengobatan bisa mengakibatkan penolakan heteroseksual karena dianggap sebagai
sesuatu yang buruk. Individu merasa cukup bernilai dan cocok dengan gaya
hidupnya.
6. Identity Synthesis
: Ketika individu benar-benar merasa nyaman dengan gaya hidupnya dan ketika
kontak dengan orang nonhomoseksual meningkat, seseorang menyadari
ketidakbenaran dalam membagi dunia mengkotak-kotakkan dunia dalam ”gay dan
lesbian yang baik” dan ”heteroseksual yang buruk.” Individu menjalani gaya
hidup gay yang terbuka sehingga pengungkapan jati diri tidak lagi sebuah isu
dan menyadari bahwa ada banyak sisi dan aspek kepribadian yang mana orientasi
seksual hanya salah satu aspek tersebut. Proses pembentukan identitas telah selesai.
Homoseksual
dan psikologi
Psikologi
adalah salah satu disiplin ilmu pertama yang mempelajari orientasi homoseksual
sebagai fenomena diskrit (terpisah). Upaya pertama mengklasifikasikan
homoseksualitas sebagai penyakit dibuat oleh gerakan seksolog amatir Eropa di
akhir abad ke-19. Pada tahun 1886, seksolog terkemuka, Richard von
Krafft-Ebing, menyejajarkan homoseksualitas bersama dengan 200 studi kasus
praktik seksual menyimpang lainnya dalam karya, Psychopathia Sexualis.
Krafft-Ebing mengedepankan bahwa homoseksualitas disebabkan oleh
"kesalahan bawaan lahir [selama kelahiran]" atau "inversi
perolehan". Dalam dua dekade terakhir dari abad ke-19, pandangan lain
mulai mendominasi kalangan medis dan psikiatris , menilai perilaku tersebut
menunjukkan jenis individu dengan orientasi seksual bawaan dan relatif stabil.
American Psychological Association, American Psychiatric Association,
dan National
Association of Social Workers berpendapat:
“
|
Pada tahun 1952, ketika Asosiasi
Psikiatri Amerika pertama kali menerbitkan Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorders (DSM),
homoseksualitas dikategorikan sebagai gangguan kejiwaan. Namun,
pengklasifikasian tersebut segera menjadi sasaran pemeriksaan kritis dalam
penelitian yang didanai oleh Institut
Kesehatan Mental Nasional. Studi dan penelitian berikutnya secara
konsisten gagal menghasilkan dasar empiris atau ilmiah yang menunjukkan
homoseksualitas sebagai gangguan atau kelainan. Dari berbagi kumpulan hasil
penelitian homoseksualitas, para ahli bidang kedokteran, kesehatan mental,
ilmu-ilmu sosial dan ilmu perilaku mencapai kesimpulan bahwa
pengklasifikasian homoseksualitas sebagai gangguan mental tidak akurat dan
bahwa klasifikasi DSM mencerminkan asumsi yang belum teruji, yang didasarkan
pada norma-norma sosial yang pernah berlaku dan pandangan klinis dari sampel
yang tidak representatif yang terdiri dari pasien yang mencari terapi
penyembuhan dan individu-individu yang masuk dalam sistem peradilan pidana
karena perilaku homoseksualitasnya.
Sebagai pengakuan bukti ilmiah, Asosiasi
Psikiatri Amerika menghapuskan homoseksualitas dari DSM pada tahun 1973,
menyatakan bahwa "homoseksualitas
sendiri menunjukkan tidak adanya gangguan dalam penilaian, stabilitas, keandalan,
atau kemampuan sosial umum atau vokasional." Setelah meninjau data
ilmiah secara seksama, Asosiasi Psikologi Amerika melakukan tindakan yang
sama pada tahun 1975, dan mendesak semua pakar kejiwaan "untuk memimpin
menghilangkan stigma penyakit mental yang telah lama dikaitkan dengan
orientasi homoseksual." Asosiasi Nasional Pekerja Sosial pun menerapkan
kebijakan serupa.
Kesimpulannya, para pakar kejiwaan dan
peneliti telah lama mengakui bahwa menjadi homoseksual tidak menimbulkan
hambatan untuk menjalani hidup yang bahagia, sehat, dan produktif, dan bahwa
sebagian besar kalangan gay dan lesbian bekerja dengan baik di berbagai
lembaga sosial dan hubungan interpersonal.”
|
”
|
Penelitian dan literatur klinis menunjukkan
bahwa atraksi seksual dan cinta, perasaan, dan perilaku dalam konteks hubungan
sesama jenis bersifat normal dan positif. Konsensus ilmu-ilmu sosial dan ilmu
perilaku dan profesi kesehatan dan kejiwaan menyatakan bahwa homoseksualitas
merupakan variasi normal dan positif dari orientasi seksual manusia. Kini,
terdapat bukti penelitian yang menunjukkan bahwa menjadi gay, lesbian atau
biseksual sesuai dengan kesehatan mental normal dan penyesuaian sosial. ICD-9 yang
dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia (1977)
mencantumkan homoseksualitas sebagai penyakit kejiwaan; kemudian dihilangkan
dalam ICD-10 yang
disahkan oleh Sidang Majelis Kesehatan Dunia ke-43 pada tanggal 17 Mei 1990.
Pengalaman diskriminasi dalam masyarakat
dan kemungkinan penolakan oleh sebaya, kerabat, dan yang lainnya, seperti
kolega, mengakibatkan sejumlah individu homoseksual mengalami kendala kesahatan
mental dan masalah penyalahgunaan obat yang lebih kuat ketimbang rata-rata.
Kebanyakan individu homoseksual menjalani
psikoterapi dengan alasan sama seperti individu heteroseksual (stres, hubungan
kesulitan, kesulitan menyesuaikan diri dengan situasi sosial atau tempat kerja,
dll); orientasi seksual mereka mungkin penting, sepele, atau tidak penting bagi
perlakuan dan pokok permasalahan mereka. Apapun masalahnya, ada risiko tinggi
prasangka anti-gay terhadap klien psikoterapi yang lesbian, gay, dan
biseksual. Penelitian psikologis untuk hal ini telah membantu melawan
sikap dan tindakan berprasangka ("homofobia") yang merugikan, dan
secara umum membantu gerakan perjuangan hak-hak LGBT.
Penerapan psikoterapi yang disetujui harus
didasarkan pada fakta-fakta ilmiah berikut:
·
Ketertarikan seksual, perilaku, dan orientasi
sesama jenis merupakan varian seksualitas manusia yang bersifat normal dan
positif, tidak menunjukkan gangguan mental atau perkembangan.
·
Homoseksualitas dan biseksualitas dianggap
buruk, dan stigma ini dapat memiliki berbagai konsekuensi negatif (misalnya,
stres minoritas) sepanjang rentang kehidupan (D'Augelli & Patterson, 1995;
DiPlacido, 1998; Herek & garnet, 2007; Meyer, 1995, 2003 ).
·
Perilaku dan ketertarikan seksual sesama jenis
dapat terjadi dalam konteks ragam orientasi seksual dan identitas orientasi
seksual (Diamond, 2006; Hoburg et al, 2004;. Rust, 1996; Savin-Williams, 2005).
·
Individu-individu gay, lesbian, dan biseksual
dapat hidup bahagia dan memiliki hubungan dan keluarga yang stabil dan
berkomitmen, setara dengan hubungan heteroseksual dalam pokok-pokok penting
(APA, 2005c; Kurdek, 2001, 2003, 2004; Peplau & Fingerhut, 2007) .
·
Tidak ada studi empiris atau penelitian ulasan
sepadan (peer-review research) yang mendukung teori yang mengaitkan orientasi
seksual sesama jenis dengan disfungsi keluarga atau trauma (Bell dkk, 1981;.
Bene, 1965; Freund & Blanchard, 1983; Freund & Pinkava, 1961; Hooker,
1969; McCord et al, 1962;. DK Peters & Cantrell, 1991; Siegelman, 1974,
1981;. Townes et al, 1976).
Homoseksualitas di Indonesia
Di
Indonesia, Homoseksualitas merupakan hal yang masih tabu untuk dibicarakan.
Kaum ini masih minoritas dan dianggap
merupakan “penyakit” yang harus dihindari. Ada banyak factor di Indonesia yang
membuat kaum homoseksual ini dikatakan menjadi penyakit yang berbahaya. Berikut
adalah beberapa faktornya.
Data
dari Raw Research Center di tahun 2007, sebanyak 93% orang Indonesia tidak
menerima adanya homoseksualitas. Di kalangan masyarakat, hanya 3% yang mau
mendukung eksistensitas kaum gay. Jika dibandingkan dengan negara lain,
Indonesia masuk ke negara dengan tingkat toleransi terhadap kaum homoseksual
terendah ketiga didunia, setara dengan Tunisia. Peringkat pertama negara dengan
tingkat toleransi terendah terhadap kaum homoseksual terendah diduduki oleh
Yordania (97%) disusul oleh Mesir (94%).
Sebaliknya, di negara-negara Eropa dan Amerika Latin, tingkat toleransinya cukup tinggi di mana beberapa diantaranya seperti Perancis (77%), Argentina (74%), dan Chili (68%). Tingkat toleransi ini mencakup bahwa mereka setuju dengan adanya kaum homoseks, dan kaum homoseks harus diterima dilingkungan masyarakat.
Sebaliknya, di negara-negara Eropa dan Amerika Latin, tingkat toleransinya cukup tinggi di mana beberapa diantaranya seperti Perancis (77%), Argentina (74%), dan Chili (68%). Tingkat toleransi ini mencakup bahwa mereka setuju dengan adanya kaum homoseks, dan kaum homoseks harus diterima dilingkungan masyarakat.
1.
Agama
Di
Indonesia, nilai-nilai Agama menjadi salah satu konsep dasar dalam membanguns
setiap aspek di lingkungan social. Baik itu keluarga, pertemanan, atau
lingkungan masyarakat lainnya. Islam, Kristen, ataupun agama-agama lainnya
melarang keras hubungan sesama jenis ini.
Sebagai contoh dalam pandangan
Kristen, Dalam kitab perjanjian
lama juga menyebutkan bahwasanya tersapat sebuah kota yang bernama sodom,
dimana kota tersebut terbentang memanjang diantara israel-yordania dan kemudian
sebuah gempa vulkanik dengan di ikuti letusan larva menjugkil balikan kota tersebut,
dalam al kitab pun tertulis ”Alkitab mengatakan dengan jelas bahwa Allah merancang agar
hubungan seks dilakukan hanya di antara pria dan wanita, dan hanya dalam ikatan
perkawinan. (Kejadian 1:27, 28; Imamat 18:22; Amsal 5:18, 19) Alkitab mengutuk percabulan, yang mencakup perilaku
homoseksual maupun heteroseksual terlarang.”—Galatia 5:19-21.
Adapun dalam Islam, Allah telah
berfirman dalam al-qur’an bahwasanya manusia diciptakan di dunia ini
berpasang-pasangan seperti yang telah di tuliskan dalam surar ar’af ayat
80-84, dalam surat tersebut menyatakan bahwa laki-laki di ciptakan untuk
perempuan begitu juga sebaliknya, berpasang-pasangngan maksutnya adalah
berpasangan dengan lawan jenisnya bukan dengan sesama jenisnya.
Istilah tentang
homoseksual pertama kali muncul kurang lebih empat belas abad yang lalu, islam
biasana menyebutnya dengan liwatag atau amal qaumil
lutin istilah yang terakir berarti perbuatan kaum Nabi Luth karena
menurut riwayat perbuatan ini pertama kali dilakukan oleh kaum nabi Luth yang
dituliskan dalam al-qur’an surat Hud 82-83 dan juga dalam surat
Al-anbiyah ayat 74.
2.
Heteronormatifitas
Heteronormatifitas
adalah pemahaman atau pola pikir di mana setiap manusia diciptakan untuk saling
melengkapi di antara tiap gender yang berbeda. Dalam arti umumnya, setiap
laki-laki diciptakan untuk berpasangan kepada perempuan. Bangunan
heteronormatif ini diawali oleh sebuah diskursus terkenal yang di suarakan oleh
seorang antropolog feminis Gayle Rubin (1993) bahwa Heteronormativitas,
ideologi bahwa heteroseksualitas adalah bentuk hubungan seksual yang sah, tidak
lagi dipertanyakan. Dari sinilah terlihat bahwa praktik-praktik lain dianggap
“tidak normal”, sehingga ketika ada sebagian orang yang ingin mengekplorasi
seksualitas (diluar konteks ketubuhan), dianggap “berlebihan”
Heteronormativitas ini juga akhirnya menyebabkan lahirnya aturan-aturan tak
tertulis di masyarakat. Diantaranya adalah; mengatur cara berpakaian perempuan,
diskriminasi, stereotype, stigmatisasi terhadap gender dan identitas gender
tertentu, pengkriminalisasi orientasi seks dan identitas gender diluar aturan
heterosentris.
3.
Kesehatan
Ada
banyak penyakit yang dapat timbul dari penyimpangan seksual ini. Sebagian besar
penyakit ini juga sebenarnya ditemukan pada orang yang bukan homoseksual namun
mempunyai gaya hidup seks yang tidak sehat, namun, dalam hubungan
homoseksualitas ini, resikonya lebih tinggi untuk terkena penyakit.
Penyakit tersebut kebanyakan juga menular dan jika
sudah akut dapat menyebabkan kematian. Sebut saja HIV/AIDS, Herpes Simpleks, Kondiloma Akuminata,
Gonorrhea, LGV dan Hepatitis B.
Perjuangan
kaum homoseksual di Indonesia
Melawan penolakan tersebut, kaum homoseksual
ini berkumpul untuk membuat beberapa aksi. Aksi-aksi ini mereka lakukan untuk
membuat stigma negatif dari kaum homoseksual terhapus. Dari kampanye damai,
seminar hingga aksi legal dilakukan para kaum ini. Beberapa contoh aksi mereka
untuk memperjuangkan menghapus homophobia antara lain:
1. Aksi
damai dan sosialisasi
Biasanya aksi damai dan sosialisasi ini
dibuat untuk menghilangkan stigma kaum homoseksual yang negatif. Meskipun cukup
ampuh, tetap saja banyak yang dipandang sinis atau bahkan dikecam. Aksi-aksi
damai ini kadangkala “diganggu” oleh organisasi masyarakat dan keagamaan.
Mereka yang menentang menganggap aksi damai ini hanyalah sebuah kedok untuk
menjaring orang agar dijerumuskan ke dalam aksi ini. Padahal aksi sosial ini
dibuat karena kaum homoseksual tak lagi dipandang sebagai minoritas dan ingin
disejajarkan dalam masyarakat umum.
2. Penyuluhan
di dalam komunitas
Selain kepada pihak luar, kaum ini juga
melakukan sosialisasi ke dalam lingkungan mereka sendiri. Pengenalan kepada
penyimpangan yang mereka hadapi, bagaimana cara beradaptasi dan bergaul di
masyarakat umum hingga penyuluhan kesehatan. Mediasi dan tanya jawab terhadap
penyelenggara negara atau aparat setempat juga dilakukan.
3. Jalur
kesenian
Salah satu cara yang cukup unik adalah
lewat jalur seni. Pentas seni audio visual menjadi salah satu media penyuluhan
kaum ini agar diterima oleh masyarakat. Film-film dokumenter tentang kehidupan
kaum homoseksual menjadi kampanye ampuh untuk menghilangkan stigma tersebut.
4. Penyuluhan
kesehatan
Penyuluhan kesehatan ini menjadi salah satu yang
sedang giat dilakukan. Tentunya agar penyakit-penyakit seksual menular yang
sering ditakuti dapat dihindari oleh kaum homoseksual. Kampanye seks aman dan
pemeriksaan tiap bulan menjadi salah satu hal rutin yang dilakukan beberapa
komunitas LGBT di Indonesia.
Bagaimana cara kita agar
dapat menerima kaum homoseksual dalam lingkungan sosial :
1. Nilai-etika berbasis dan
praktek. Nilai-nilai kerja sosial dan etika. (National Association of
pekerja sosial, 1996). Menetapkan bahwa rekan pekerja harus memperlakukan
orang-orang berperilaku homoseksual dan perilaku menyimpang lainnya dengan
hormat. Dapat menghormati nilai dan martabat mereka sebagai individu yang
bermartabat, dan bekerja afirmatif atas nama mereka. Dalam arti lain, memandang
mereka sebagai rekan kerja yang sepadan tanpa ada diskriminasi, sehingga tidak
akan merusak hubungan pekerjaan dengan simbol kepribadian mereka.
2. Banyak orang-orang
menganggap homoseksual sebagai pilihan untuk menjauh dari kehidupan masyarakat
umum. Kita juga sering melihat orang-orang homoseksual merusak masyarakat
dengan memilih gaya hidup yang bertentangan dengan tradisi moral dan
kesejahteraan umum masyarakat. Namun pada kenyataannya, peneliti menyebutkan
bahwa pengaruh genetik sangat berkontribusi secara signifikan terhadap
orientasi seksual orang apakah dia gay, lesbian, biseksual ataupun
heteroseksual. (Bailey & amp; Benishay, 1993; Bailey & Pillard,
1991; Bailey, Pillard, Neale, & Agyei, 1993; Hamer, Hu, Magnuson, Hu, &
Pattatuci, 1993; LeVay, 1991). Dengan kata lain cara terbaik kita dalam
memahami peran mereka dalam kehidupan bersosial yaitu memilih apakah kita akan
menerima atau menolak mereka. Kembali lagi kepada diri kira masing-masing
menurut sudut pandang yang berbeda-beda.
3. Dilihat dari nilai
Sosial keadilan.
Keadilan sosial yang
berkaitan dengan nilai semua warga negara yang memiliki hak-hak dasar yang
sama, perlindungan, dan kewajiban di bawah hukum (Kirst-Ashman & Hull,
2002). Sejumlah ketidakadilan sosial mempengaruhi kaum minoritas dan bahkan
keluarga mereka, misalnya berikut : kurangnya pengakuan hubungan antara mereka
dan keluarga mengakibatkan ; penganiayaan agama, penolakan keselamatan dalam
program kepemerintahan seperti jaminan sosial, sehingga berpengaruh terhadap
penolakan hak-hak warisan keluarga (dipersulit). (Deana F. Morrow and
Lori Messinger, 1893; Sexual Orientation and Gender Expression In Social Work
Practic – Working With Gay, Lesbian, Bisexual, and Transgender People, Colombia
University Press New York)
BAB III : KESIMPULAN
Homoseksualitas adalah suatu
kecenderungan yang terdapat dalam diri seseorang dimana dia merasa tertarik
secara seksual dengan kaum sejenisnya (pria dengan pria, wanita dengan wanita).
Sebutan gay biasa dipakai untuk menggambarkan hubungan sejenis antara pria
dengan pria, sedangkan lesbian adalah istilah untuk menggambarkan hubungan
sejenis antara wanita dengan wanita.
Penyebab
homoseksual menurut para ahli dapat dijelaskan dengan berbagai pandangan.
Penyebab homoseksual bisa karena pengaruh biologis, sosiologis, psikologis
maupun interaksi dari biologis dan sosiologis. Orientasi seksual orang lebih
banyak ditentukan oleh kombinasi antara faktor genetik, hormonal, kognitif, dan
lingkungan.
Psikologi adalah salah satu disiplin ilmu
pertama yang mempelajari orientasi homoseksual sebagai fenomena diskrit (terpisah). Asosiasi Psikiatri Amerika
menghapuskan homoseksualitas dari DSM pada tahun 1973, menyatakan bahwa "homoseksualitas sendiri menunjukkan
tidak adanya gangguan dalam penilaian, stabilitas, keandalan, atau kemampuan
sosial umum atau vokasional”. Setelah meninjau data ilmiah secara seksama,
Asosiasi Psikologi Amerika melakukan tindakan yang sama pada tahun 1975, dan
mendesak semua pakar kejiwaan "untuk memimpin menghilangkan stigma
penyakit mental yang telah lama dikaitkan dengan orientasi homoseksual”. ICD-9 yang
dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia (1977)
mencantumkan homoseksualitas sebagai penyakit kejiwaan; kemudian dihilangkan
dalam ICD-10 yang
disahkan oleh Sidang Majelis Kesehatan Dunia ke-43 pada tanggal 17 Mei 1990.
Homoseksualitas di Indonesia umumnya dianggap sebagai hal
yang tabu baik oleh masyarakat sipil dan pemerintah Indonesia.
Diskusi publik mengenai homoseksualitas di Indonesia telah dihambat oleh
kenyataan bahwa seksualitas dalam bentuk apapun jarang dibicarakan secara
terbuka. Kaum homoseksual mengalami penindasan yang luar biasa dalam
waktu yang lama, dan hingga saat ini. Bullying, diskriminasi,
dan intoleransi yang dialami oleh kaum homoseksual dikarenakan oleh suatu paham
yang sudah sangat melekat di lingkungan sosial, yaitu heternormativitas. Heternormativitas adalah suatu paham yang membagi masyarakat ke dalam dua kelompok yang
pada dasarnya adalah ciptaan alamiah, yaitu laki-laki dan perempuan. Dalam
paham ini, yang dianggap benar adalah hubungan heteroseksual, sehingga hal ini
dijadikan norma atau standar dalam masyarakat. Hal ini berdampak pada munculnya
homophobia (ketakutan, keengganan, atau diskriminasi terhadap individu
homoseksual) dan heteroseksisme (diskriminasi dan/atau kebencian terhadap
seseorang yang bergantung terhadap homoseksualitas).
Biasanya, masyarakat melakukan
stigmatisasi terhadap mereka dengan menggunakan justifikasi doktrin dan keagamaan. Oleh tafsir agama konservatif, kaum homoseksual dianggap sampah
masyarakat, menyebarkan penyakit menular, tidak normal, tidak alamiah, sumber
datangnya malapetaka, dan penyandang cacat mental. Parahnya lagi, pemerintah
turut melegitimasi hal itu dengan mengeluarkan beberapa kebijakan yang
diskriminatif terhadap kelompok marginal tersebut.
Dalam kasus ini sangat
diperlukan peran serta masyarakat dan pemerintah untuk memperjuangkan hak-hak
LGBT. Kaum homoseksual juga merupakan manusia yang memiliki tingkat derajat
yang sama dengan manusia lain. Seharusnya sudah tidak ada lagi pembatasan
hak-hak mereka. Menjadi homoseksual merupakan hak asasi manusia, homoseksual
bukanlah penyakit menular, ke-abnormal-an, cacat mental, ataupun ganguan jiwa. Bahkan
banyak individu homoseksual yang sukses dan menjadi orang yang berpengaruh di
dunia. Kebencian, diskriminasi, serta intoleransi yang dilakukan oleh
homophobia juga bukan merupakan tindakan yang baik bahkan banyak kaum
homoseksual yang mengalami dampak negative dan sampai berujung bunuh diri.
Lalu untuk apa kita
mengkotak-kotakan seseorang karena orientasi seksual dan identitas gender.
Mereka berhak mendapatkan pengakuan oleh negara, kehidupan yang aman, serta
hak-hak dasar manusia lainnya. Mari kurangi beban mereka dengan tidak melakukan
diskriminasi, intoleransi, dan tindakan bullying kepada kaum homoseksual dalam
lingkungan sosial. Karena tak ada manusia yang pantas disakiti dengan alasan
apapun, termasuk orientasi seksual, ataupun identitas gender. Selalu ada
perbedaan di antara kita, namun dalam perbedaan itu, tetap ada kesetaraan.