Minggu, 18 Oktober 2015

Tugas Pengantar Psikologi: "Homoseksual sebagai perilaku menyimpang dalam lingkungan sosial"

BAB I : PENDAHULUAN
I.1  Latar Belakang
      Perilaku menyimpang yang juga biasa dikenal dengan nama penyimpangan sosial adalah perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan ataukepatutan, baik dalam sudut pandang kemanusiaan (agama) secara individumaupun pembenarannya sebagai bagian daripada makhluk sosial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia perilaku menyimpang diartikan sebagai tingkah laku, perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang bertentangan dengan norma-norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat.

      Dalam kehidupan masyarakat, semua tindakan manusia dibatasi oleh aturan (norma) untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan sesuatu yang dianggap baik oleh masyarakat. Namun demikian di tengah kehidupan masyarakat kadang-kadang masih kita jumpai tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan aturan (norma) yang berlaku pada masyarakat, misalnya seorang siswa menyontek pada saat ulangan, berbohong, mencuri, dan mengganggu siswa lain.

Berikut ini beberapa definisi dari perilaku menyimpang yang dijelaskan oleh beberapa ahli sosiologi :
1.      Menurut James Worker Van der Zaden. Penyimpangan sosial adalahperilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang terceladan di luar batas toleransi.
2.      Menurut Robert Muhamad Zaenal Lawang. Penyimpangan sosial adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dan menimbulkan usaha dari yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang tersebut.
3.      Menurut Paul Band Horton. Penyimpangan sosial adalah setiap perilaku yang dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap norma-norma kelompokatau masyarakat.
      Penyimpangan sosial harus bisa didefinisikan, dan penyimpangan sosial pun dapat diterima maupun ditolak dalam lingkungan sosial semua tergantung kepada penjelasan yang melatarbelakangi penyimpangan tersebut dan sudut pandang setiap individu di lingkungan sosial.
      Dalam pembahasan, kami dari Kelompok 4 Psikologi akan membahas salah satu penyimpangan sosial yang sedang menjadi perbincangan dan perdebatan hangat di dalam masyarakat global yaitu Penyimpangan Seksual.
Orientasi Seksual adalah pola ketertarikan seksual emosional, romantic, dan atau seksual terhadap lelaki, perempuan, keduanya, tidak satupun, atau jenis kelamin lainnya. Americal Psychological Asociation (APA) menyebutkan bahwa istilah ini juga merujuk pada perasaaan seseorang terhadap “identitas pribadi” dan sosial berdasarkan ketertarikan itu, perilaku pengungkapannya, dan kenaggotaan pada komunitas yang sama.
Orientasi seksual biasanya dikelompokkan oleh gender ataupun jenis kelamin yang dianggap menarik oleh seseorang, yaitu heteroseksual, homoseksual, biseksual. Pada pembahasan kali ini kami akan membahas mengenai homoseksual sebagai Perilaku Seksual Menyimpang di lingkungan sosial.
1.2 Tampilan Masalah
      1. Definisi dan penjelasan tentang Homoseksual
      2. Faktor yang menyebabkan seseorang menjadi homoseksual
      3. Homoseksual dan psikologi
      3. Homoseksual di Indonesia
      4. Bagaimana cara kita menerima kaum homoseksual dalam lingkungan sosial
BAB II: ISI ARGUMENTASI
Pengertian Homoseksual
      Homoseksual menurut Wikipedia Bahasa Indonesia adalah rasa ketertarikan romantis dan atau perilaku antar individu berjenis kelamin atau gender yang sama. Sedangkan menurut lgbtindonesia.com yang merupakan forum Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender di Indonesia, arti Homoseksualitas adalah suatu kecenderungan yang terdapat dalam diri seseorang dimana dia merasa merasa tertarik secara seksual dengan kaum sejenisnya (pria dengan pria, wanita dengan wanita).

      Ada 2 kelompok berbeda dalam menyikapi Seksualitas, yakni, kelompok esensialism dan kelompok social constructionism. Kelompok esensial meyakini bahwa jenis kelamin, orientasi seksual, dan identitas seksual merupakan hal yang natural dan terberi sehingga tidak berubah. Pada pandangan yang kedua, yakni social contructionism, seks, gender, dan orientasi seksual tercipta dari adanya kontruksi sosial. Sebagai sebuah konstruksi sosial, seksualitas bersifat cair, dan merupakan suatu kontinum sehingga jenis kelamin tidak hanya terdiri dari laki-laki dan perempuan namun juga intersex dan transgender/transeksual, orientasi seksual tidak hanya heteroseksual namun juga homoseksual dan biseksual.
Ada beberapa faktor yang membuat pribadi menjadi seorang homoseksual yaitu:
1. Penyebab homoseksual menurut para ahli dapat dijelaskan dengan berbagai pandangan. Penyebab homoseksual bisa karena pengaruh biologis, sosiologis, psikologis maupun interaksi dari biologis dan sosiologis. Orientasi seksual orang lebih banyak ditentukan oleh kombinasi antara faktor genetik, hormonal, kognitif, dan lingkungan (McWhirter, Reinisch & Sanders, 1989; Money, 1987; Savin – Williams & Rodriguez, 1993; Whitman, Diamond & Martin, 1993, dalam Santrock, 2002)
2. Pendapat lain juga muncul dari sebagian besar ahli tentang homoseksualitas, bahwa mereka percaya bahwa tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan homoseksualitas dan bobot masing-masing faktor berbeda-beda dari satu orang ke orang yang lain. Akibatnya, tidak ada satu orangpun yang mengetahui secara pasti penyebab seseorang menjadi seorang homoseksual (Santrock, 2002)

3. Selain itu teori behavioral menganggap bahwa, perilaku homoseksual adalah perilaku yang dipelajari, diakibatkan perilaku homoseksual yang mendatangkan hadiah atau penguat yang menyenangkan atau pemberian hukuman atau penguat negatif terhadap perilaku heteroseksual. Sebagai contoh, seseorang bisa saja memiliki hubungan dengan sesama jenis menyenangkan, dan berpasangan dengan lawan jenis adalah hal yang menakutkan, dalam fantasinya, orang tersebut bisa saja berfokus pada hubungan sesama jenis, menguatkan kesenangannya dengan masturbasi. Bahkan pada masa dewasa, beberapa pria dan wanita bergerak menuju perilaku dan hubungan sesama jenis jika mereka mengalami hubungan heteroseksual yang buruk dan hubungan homoseksual yang menyenangkan (Masters & Johnson, 1979, dalam Carroll, 2005).

Adapun tahapan pembentukan perilaku homoseksual yang dikemukakan oleh Vivienne Cass yang merupakan seorang psikolog dari Australia yang bekerja sebagai clinical tutor di Department of Psychology University of Western Australia dan Consultant Psychologist di Homosexual Counseling Service of Western Australia yang menyebutkan dalam jurnalnya (Cass, V. (1979). Homosexual identity formation: A theoretical model. Journal of Homosexuality, 4 (3), 219-235.) yaitu yang dikenal dengan Cass Identity Model :

1. Identity Confusion : Individu mulai percaya bahwa perilakunya bisa didefinisikan sebagai gay atau lesbian. Mungkin saja timbul keinginan untuk mendefinisikan kembali konsep orang tersebut terhadap perilaku gay dan lesbian, dengan segala bias dan informasi salah yang dimiliki sebagian besar orang. Orang tersebut bisa menerim peran tersebut dan mencari informasi, menekan dan menghalangi semua perilaku gay dan lesbian, atau menyangkal kemiripan dengan semua identitasnya (seperti pria yang memiliki hubungan sesama jenis di penjara namun tidak percaya bahwa dia adalah gay ”yang sebenarnya”).

2. Identity Comparison : Individu menerima potensi identitas dirinya gay; menolak model heteroseksual tetapi tidak menemukan penggantinya. Orang tersebut mungkin merasa berbeda dan bahkan kehilangan. Orang yang berada dalam tahapan ini masih menyangkal homoseksualitasnya. Ia berpura-pura sebagai seorang heteroseksual.

3. Identity Tolerance : Pada tahap ini, individu mulai berpindah pada keyakinan bahwa dirinya mungkin gay atau lesbian dan mulai mencari komunitas homoseksual sebagai kebutuhan sosial, seksual dan emosional. Kebingungan menurun, tapi identitas diri masih pada tahap toleransi, bukan sepenuhnya diterima. Biasanya, individu masih tidak membeberkan identitas barunya pada dunia heteroseksual dan tetap menjalankan gaya hidup ganda.

4. Identity Acceptance : Pandangan positif tentang identitas diri mulai dibentuk, hubungan dan jaringan gay dan lesbian mulai berkembang. Pembukaan jati diri selektif kepada teman dan keluarga mulai dibuat, dan individu sering membenamkan dirinya sendiri dalam budaya homoseksual.

5. Identity Pride : Kebanggaan sebagai homoseksual mulai dikembangkan, dan kemarahan terhadap pengobatan bisa mengakibatkan penolakan heteroseksual karena dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Individu merasa cukup bernilai dan cocok dengan gaya hidupnya.

6. Identity Synthesis : Ketika individu benar-benar merasa nyaman dengan gaya hidupnya dan ketika kontak dengan orang nonhomoseksual meningkat, seseorang menyadari ketidakbenaran dalam membagi dunia mengkotak-kotakkan dunia dalam ”gay dan lesbian yang baik” dan ”heteroseksual yang buruk.” Individu menjalani gaya hidup gay yang terbuka sehingga pengungkapan jati diri tidak lagi sebuah isu dan menyadari bahwa ada banyak sisi dan aspek kepribadian yang mana orientasi seksual hanya salah satu aspek tersebut. Proses pembentukan identitas telah selesai.

Homoseksual dan psikologi
      Psikologi adalah salah satu disiplin ilmu pertama yang mempelajari orientasi homoseksual sebagai fenomena diskrit (terpisah). Upaya pertama mengklasifikasikan homoseksualitas sebagai penyakit dibuat oleh gerakan seksolog amatir Eropa di akhir abad ke-19. Pada tahun 1886, seksolog terkemuka, Richard von Krafft-Ebing, menyejajarkan homoseksualitas bersama dengan 200 studi kasus praktik seksual menyimpang lainnya dalam karya, Psychopathia Sexualis. Krafft-Ebing mengedepankan bahwa homoseksualitas disebabkan oleh "kesalahan bawaan lahir [selama kelahiran]" atau "inversi perolehan". Dalam dua dekade terakhir dari abad ke-19, pandangan lain mulai mendominasi kalangan medis dan psikiatris , menilai perilaku tersebut menunjukkan jenis individu dengan orientasi seksual bawaan dan relatif stabil.
American Psychological Association, American Psychiatric Association, dan National Association of Social Workers berpendapat:
Pada tahun 1952, ketika Asosiasi Psikiatri Amerika pertama kali menerbitkan Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorders (DSM), homoseksualitas dikategorikan sebagai gangguan kejiwaan. Namun, pengklasifikasian tersebut segera menjadi sasaran pemeriksaan kritis dalam penelitian yang didanai oleh Institut Kesehatan Mental Nasional. Studi dan penelitian berikutnya secara konsisten gagal menghasilkan dasar empiris atau ilmiah yang menunjukkan homoseksualitas sebagai gangguan atau kelainan. Dari berbagi kumpulan hasil penelitian homoseksualitas, para ahli bidang kedokteran, kesehatan mental, ilmu-ilmu sosial dan ilmu perilaku mencapai kesimpulan bahwa pengklasifikasian homoseksualitas sebagai gangguan mental tidak akurat dan bahwa klasifikasi DSM mencerminkan asumsi yang belum teruji, yang didasarkan pada norma-norma sosial yang pernah berlaku dan pandangan klinis dari sampel yang tidak representatif yang terdiri dari pasien yang mencari terapi penyembuhan dan individu-individu yang masuk dalam sistem peradilan pidana karena perilaku homoseksualitasnya.
Sebagai pengakuan bukti ilmiah, Asosiasi Psikiatri Amerika menghapuskan homoseksualitas dari DSM pada tahun 1973, menyatakan bahwa "homoseksualitas sendiri menunjukkan tidak adanya gangguan dalam penilaian, stabilitas, keandalan, atau kemampuan sosial umum atau vokasional." Setelah meninjau data ilmiah secara seksama, Asosiasi Psikologi Amerika melakukan tindakan yang sama pada tahun 1975, dan mendesak semua pakar kejiwaan "untuk memimpin menghilangkan stigma penyakit mental yang telah lama dikaitkan dengan orientasi homoseksual." Asosiasi Nasional Pekerja Sosial pun menerapkan kebijakan serupa.
Kesimpulannya, para pakar kejiwaan dan peneliti telah lama mengakui bahwa menjadi homoseksual tidak menimbulkan hambatan untuk menjalani hidup yang bahagia, sehat, dan produktif, dan bahwa sebagian besar kalangan gay dan lesbian bekerja dengan baik di berbagai lembaga sosial dan hubungan interpersonal.”
Penelitian dan literatur klinis menunjukkan bahwa atraksi seksual dan cinta, perasaan, dan perilaku dalam konteks hubungan sesama jenis bersifat normal dan positif. Konsensus ilmu-ilmu sosial dan ilmu perilaku dan profesi kesehatan dan kejiwaan menyatakan bahwa homoseksualitas merupakan variasi normal dan positif dari orientasi seksual manusia. Kini, terdapat bukti penelitian yang menunjukkan bahwa menjadi gay, lesbian atau biseksual sesuai dengan kesehatan mental normal dan penyesuaian sosial. ICD-9 yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia (1977) mencantumkan homoseksualitas sebagai penyakit kejiwaan; kemudian dihilangkan dalam ICD-10 yang disahkan oleh Sidang Majelis Kesehatan Dunia ke-43 pada tanggal 17 Mei 1990.
      Pengalaman diskriminasi dalam masyarakat dan kemungkinan penolakan oleh sebaya, kerabat, dan yang lainnya, seperti kolega, mengakibatkan sejumlah individu homoseksual mengalami kendala kesahatan mental dan masalah penyalahgunaan obat yang lebih kuat ketimbang rata-rata.
Kebanyakan individu homoseksual menjalani psikoterapi dengan alasan sama seperti individu heteroseksual (stres, hubungan kesulitan, kesulitan menyesuaikan diri dengan situasi sosial atau tempat kerja, dll); orientasi seksual mereka mungkin penting, sepele, atau tidak penting bagi perlakuan dan pokok permasalahan mereka. Apapun masalahnya, ada risiko tinggi prasangka anti-gay terhadap klien psikoterapi yang lesbian, gay, dan biseksual. Penelitian psikologis untuk hal ini telah membantu melawan sikap dan tindakan berprasangka ("homofobia") yang merugikan, dan secara umum membantu gerakan perjuangan hak-hak LGBT.
Penerapan psikoterapi yang disetujui harus didasarkan pada fakta-fakta ilmiah berikut:
·         Ketertarikan seksual, perilaku, dan orientasi sesama jenis merupakan varian seksualitas manusia yang bersifat normal dan positif, tidak menunjukkan gangguan mental atau perkembangan.
·         Homoseksualitas dan biseksualitas dianggap buruk, dan stigma ini dapat memiliki berbagai konsekuensi negatif (misalnya, stres minoritas) sepanjang rentang kehidupan (D'Augelli & Patterson, 1995; DiPlacido, 1998; Herek & garnet, 2007; Meyer, 1995, 2003 ).
·         Perilaku dan ketertarikan seksual sesama jenis dapat terjadi dalam konteks ragam orientasi seksual dan identitas orientasi seksual (Diamond, 2006; Hoburg et al, 2004;. Rust, 1996; Savin-Williams, 2005).
·         Individu-individu gay, lesbian, dan biseksual dapat hidup bahagia dan memiliki hubungan dan keluarga yang stabil dan berkomitmen, setara dengan hubungan heteroseksual dalam pokok-pokok penting (APA, 2005c; Kurdek, 2001, 2003, 2004; Peplau & Fingerhut, 2007) .
·         Tidak ada studi empiris atau penelitian ulasan sepadan (peer-review research) yang mendukung teori yang mengaitkan orientasi seksual sesama jenis dengan disfungsi keluarga atau trauma (Bell dkk, 1981;. Bene, 1965; Freund & Blanchard, 1983; Freund & Pinkava, 1961; Hooker, 1969; McCord et al, 1962;. DK Peters & Cantrell, 1991; Siegelman, 1974, 1981;. Townes et al, 1976).

Homoseksualitas di Indonesia
      Di Indonesia, Homoseksualitas merupakan hal yang masih tabu untuk dibicarakan. Kaum ini  masih minoritas dan dianggap merupakan “penyakit” yang harus dihindari. Ada banyak factor di Indonesia yang membuat kaum homoseksual ini dikatakan menjadi penyakit yang berbahaya. Berikut adalah beberapa faktornya.
Data dari Raw Research Center di tahun 2007, sebanyak 93% orang Indonesia tidak menerima adanya homoseksualitas. Di kalangan masyarakat, hanya 3% yang mau mendukung eksistensitas kaum gay. Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia masuk ke negara dengan tingkat toleransi terhadap kaum homoseksual terendah ketiga didunia, setara dengan Tunisia. Peringkat pertama negara dengan tingkat toleransi terendah terhadap kaum homoseksual terendah diduduki oleh Yordania (97%) disusul oleh Mesir (94%).

      Sebaliknya, di negara-negara Eropa dan Amerika Latin,  tingkat toleransinya cukup tinggi di mana beberapa diantaranya seperti Perancis (77%), Argentina (74%), dan Chili (68%). Tingkat toleransi ini mencakup bahwa mereka setuju dengan adanya kaum homoseks, dan kaum homoseks harus diterima dilingkungan masyarakat.
1.      Agama
      Di Indonesia, nilai-nilai Agama menjadi salah satu konsep dasar dalam membanguns setiap aspek di lingkungan social. Baik itu keluarga, pertemanan, atau lingkungan masyarakat lainnya. Islam, Kristen, ataupun agama-agama lainnya melarang keras hubungan sesama jenis ini.
Sebagai contoh dalam pandangan Kristen, Dalam kitab perjanjian lama juga menyebutkan bahwasanya tersapat sebuah kota yang bernama sodom, dimana kota tersebut terbentang memanjang diantara israel-yordania dan kemudian sebuah gempa vulkanik dengan di ikuti letusan larva menjugkil balikan kota tersebut, dalam al kitab pun tertulis Alkitab mengatakan dengan jelas bahwa Allah merancang agar hubungan seks dilakukan hanya di antara pria dan wanita, dan hanya dalam ikatan perkawinan. (Kejadian 1:27, 28; Imamat 18:22; Amsal 5:18, 19) Alkitab mengutuk percabulan, yang mencakup perilaku homoseksual maupun heteroseksual terlarang.”—Galatia 5:19-21.
Adapun dalam Islam, Allah telah berfirman dalam al-qur’an bahwasanya manusia diciptakan di dunia ini berpasang-pasangan seperti yang telah di tuliskan dalam surar ar’af  ayat 80-84, dalam surat tersebut menyatakan bahwa laki-laki di ciptakan untuk perempuan begitu juga sebaliknya, berpasang-pasangngan maksutnya adalah berpasangan dengan lawan jenisnya bukan dengan sesama jenisnya.
Istilah tentang homoseksual pertama kali muncul kurang lebih empat belas abad yang lalu, islam biasana menyebutnya dengan liwatag atau amal qaumil lutin istilah yang terakir berarti perbuatan kaum Nabi Luth karena menurut riwayat perbuatan ini pertama kali dilakukan oleh kaum nabi Luth yang dituliskan dalam al-qur’an surat Hud 82-83  dan juga dalam surat Al-anbiyah ayat 74.
2.      Heteronormatifitas
      Heteronormatifitas adalah pemahaman atau pola pikir di mana setiap manusia diciptakan untuk saling melengkapi di antara tiap gender yang berbeda. Dalam arti umumnya, setiap laki-laki diciptakan untuk berpasangan kepada perempuan. Bangunan heteronormatif ini diawali oleh sebuah diskursus terkenal yang di suarakan oleh seorang antropolog feminis Gayle Rubin (1993) bahwa  Heteronormativitas, ideologi bahwa heteroseksualitas adalah bentuk hubungan seksual yang sah, tidak lagi dipertanyakan. Dari sinilah terlihat bahwa praktik-praktik lain dianggap “tidak normal”, sehingga ketika ada sebagian orang yang ingin mengekplorasi seksualitas (diluar konteks ketubuhan), dianggap “berlebihan” Heteronormativitas ini juga akhirnya menyebabkan lahirnya aturan-aturan tak tertulis di masyarakat. Diantaranya adalah; mengatur cara berpakaian perempuan, diskriminasi, stereotype, stigmatisasi terhadap gender dan identitas gender tertentu, pengkriminalisasi orientasi seks dan identitas gender diluar aturan heterosentris.

3.      Kesehatan
      Ada banyak penyakit yang dapat timbul dari penyimpangan seksual ini. Sebagian besar penyakit ini juga sebenarnya ditemukan pada orang yang bukan homoseksual namun mempunyai gaya hidup seks yang tidak sehat, namun, dalam hubungan homoseksualitas ini, resikonya lebih tinggi untuk terkena penyakit.
Penyakit tersebut kebanyakan juga menular dan jika sudah akut dapat menyebabkan kematian. Sebut saja HIV/AIDS, Herpes Simpleks, Kondiloma Akuminata, Gonorrhea, LGV dan Hepatitis B.
Perjuangan kaum homoseksual di Indonesia
       Melawan penolakan tersebut, kaum homoseksual ini berkumpul untuk membuat beberapa aksi. Aksi-aksi ini mereka lakukan untuk membuat stigma negatif dari kaum homoseksual terhapus. Dari kampanye damai, seminar hingga aksi legal dilakukan para kaum ini. Beberapa contoh aksi mereka untuk memperjuangkan menghapus homophobia antara lain:
1.      Aksi damai dan sosialisasi
Biasanya aksi damai dan sosialisasi ini dibuat untuk menghilangkan stigma kaum homoseksual yang negatif. Meskipun cukup ampuh, tetap saja banyak yang dipandang sinis atau bahkan dikecam. Aksi-aksi damai ini kadangkala “diganggu” oleh organisasi masyarakat dan keagamaan. Mereka yang menentang menganggap aksi damai ini hanyalah sebuah kedok untuk menjaring orang agar dijerumuskan ke dalam aksi ini. Padahal aksi sosial ini dibuat karena kaum homoseksual tak lagi dipandang sebagai minoritas dan ingin disejajarkan dalam masyarakat umum.
                                                         
2.      Penyuluhan di dalam komunitas
Selain kepada pihak luar, kaum ini juga melakukan sosialisasi ke dalam lingkungan mereka sendiri. Pengenalan kepada penyimpangan yang mereka hadapi, bagaimana cara beradaptasi dan bergaul di masyarakat umum hingga penyuluhan kesehatan. Mediasi dan tanya jawab terhadap penyelenggara negara atau aparat setempat juga dilakukan.

3.      Jalur kesenian
Salah satu cara yang cukup unik adalah lewat jalur seni. Pentas seni audio visual menjadi salah satu media penyuluhan kaum ini agar diterima oleh masyarakat. Film-film dokumenter tentang kehidupan kaum homoseksual menjadi kampanye ampuh untuk menghilangkan stigma tersebut.

4.      Penyuluhan kesehatan
Penyuluhan kesehatan ini menjadi salah satu yang sedang giat dilakukan. Tentunya agar penyakit-penyakit seksual menular yang sering ditakuti dapat dihindari oleh kaum homoseksual. Kampanye seks aman dan pemeriksaan tiap bulan menjadi salah satu hal rutin yang dilakukan beberapa komunitas LGBT di Indonesia.
Bagaimana cara kita agar dapat menerima kaum homoseksual dalam lingkungan sosial :

1. Nilai-etika berbasis dan praktek. Nilai-nilai kerja sosial dan etika. (National Association of pekerja sosial, 1996). Menetapkan bahwa rekan pekerja harus memperlakukan orang-orang berperilaku homoseksual dan perilaku menyimpang lainnya dengan hormat. Dapat  menghormati nilai dan martabat mereka sebagai individu yang bermartabat, dan bekerja afirmatif atas nama mereka. Dalam arti lain, memandang mereka sebagai rekan kerja yang sepadan tanpa ada diskriminasi, sehingga tidak akan merusak hubungan pekerjaan dengan simbol kepribadian mereka.

2. Banyak orang-orang menganggap homoseksual sebagai pilihan untuk menjauh dari kehidupan masyarakat umum. Kita juga sering melihat orang-orang homoseksual merusak masyarakat dengan memilih gaya hidup yang bertentangan dengan tradisi moral dan kesejahteraan umum masyarakat. Namun pada kenyataannya, peneliti menyebutkan bahwa pengaruh genetik sangat berkontribusi secara signifikan terhadap orientasi seksual orang apakah dia gay, lesbian, biseksual ataupun heteroseksual. (Bailey & amp; Benishay, 1993; Bailey & Pillard, 1991; Bailey, Pillard, Neale, & Agyei, 1993; Hamer, Hu, Magnuson, Hu, & Pattatuci, 1993; LeVay, 1991). Dengan kata lain cara terbaik kita dalam memahami peran mereka dalam kehidupan bersosial yaitu memilih apakah kita akan menerima atau menolak mereka. Kembali lagi kepada diri kira masing-masing menurut sudut pandang yang berbeda-beda.

3. Dilihat dari nilai Sosial keadilan.
Keadilan sosial yang berkaitan dengan nilai semua warga negara yang memiliki hak-hak dasar yang sama, perlindungan, dan kewajiban di bawah hukum (Kirst-Ashman & Hull, 2002). Sejumlah ketidakadilan sosial mempengaruhi kaum minoritas dan bahkan keluarga mereka, misalnya berikut : kurangnya pengakuan hubungan antara mereka dan keluarga mengakibatkan ; penganiayaan agama, penolakan keselamatan dalam program kepemerintahan seperti jaminan sosial, sehingga berpengaruh terhadap penolakan hak-hak warisan keluarga (dipersulit). (Deana F. Morrow and Lori Messinger, 1893; Sexual Orientation and Gender Expression In Social Work Practic – Working With Gay, Lesbian, Bisexual, and Transgender People, Colombia University Press New York)

BAB III : KESIMPULAN

   Homoseksualitas adalah suatu kecenderungan yang terdapat dalam diri seseorang dimana dia merasa tertarik secara seksual dengan kaum sejenisnya (pria dengan pria, wanita dengan wanita). Sebutan gay biasa dipakai untuk menggambarkan hubungan sejenis antara pria dengan pria, sedangkan lesbian adalah istilah untuk menggambarkan hubungan sejenis antara wanita dengan wanita.
   Penyebab homoseksual menurut para ahli dapat dijelaskan dengan berbagai pandangan. Penyebab homoseksual bisa karena pengaruh biologis, sosiologis, psikologis maupun interaksi dari biologis dan sosiologis. Orientasi seksual orang lebih banyak ditentukan oleh kombinasi antara faktor genetik, hormonal, kognitif, dan lingkungan.
   Psikologi adalah salah satu disiplin ilmu pertama yang mempelajari orientasi homoseksual sebagai fenomena diskrit (terpisah). Asosiasi Psikiatri Amerika menghapuskan homoseksualitas dari DSM pada tahun 1973, menyatakan bahwa "homoseksualitas sendiri menunjukkan tidak adanya gangguan dalam penilaian, stabilitas, keandalan, atau kemampuan sosial umum atau vokasional”. Setelah meninjau data ilmiah secara seksama, Asosiasi Psikologi Amerika melakukan tindakan yang sama pada tahun 1975, dan mendesak semua pakar kejiwaan "untuk memimpin menghilangkan stigma penyakit mental yang telah lama dikaitkan dengan orientasi homoseksual”. ICD-9 yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia (1977) mencantumkan homoseksualitas sebagai penyakit kejiwaan; kemudian dihilangkan dalam ICD-10 yang disahkan oleh Sidang Majelis Kesehatan Dunia ke-43 pada tanggal 17 Mei 1990.
   Homoseksualitas di Indonesia umumnya dianggap sebagai hal yang tabu baik oleh masyarakat sipil dan pemerintah Indonesia. Diskusi publik mengenai homoseksualitas di Indonesia telah dihambat oleh kenyataan bahwa seksualitas dalam bentuk apapun jarang dibicarakan secara terbuka. Kaum homoseksual mengalami penindasan yang luar biasa dalam waktu yang lama, dan hingga saat ini. Bullying, diskriminasi, dan intoleransi yang dialami oleh kaum homoseksual dikarenakan oleh suatu paham yang sudah sangat melekat di lingkungan sosial, yaitu heternormativitas. Heternormativitas adalah suatu paham yang membagi masyarakat ke dalam dua kelompok yang pada dasarnya adalah ciptaan alamiah, yaitu laki-laki dan perempuan. Dalam paham ini, yang dianggap benar adalah hubungan heteroseksual, sehingga hal ini dijadikan norma atau standar dalam masyarakat. Hal ini berdampak pada munculnya homophobia (ketakutan, keengganan, atau diskriminasi terhadap individu homoseksual) dan heteroseksisme (diskriminasi dan/atau kebencian terhadap seseorang yang bergantung terhadap homoseksualitas).

   Biasanya, masyarakat melakukan stigmatisasi terhadap mereka dengan menggunakan justifikasi doktrin dan keagamaan. Oleh tafsir agama konservatif, kaum homoseksual dianggap sampah masyarakat, menyebarkan penyakit menular, tidak normal, tidak alamiah, sumber datangnya malapetaka, dan penyandang cacat mental. Parahnya lagi, pemerintah turut melegitimasi hal itu dengan mengeluarkan beberapa kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok marginal tersebut.

   Dalam kasus ini sangat diperlukan peran serta masyarakat dan pemerintah untuk memperjuangkan hak-hak LGBT. Kaum homoseksual juga merupakan manusia yang memiliki tingkat derajat yang sama dengan manusia lain. Seharusnya sudah tidak ada lagi pembatasan hak-hak mereka. Menjadi homoseksual merupakan hak asasi manusia, homoseksual bukanlah penyakit menular, ke-abnormal-an, cacat mental, ataupun ganguan jiwa. Bahkan banyak individu homoseksual yang sukses dan menjadi orang yang berpengaruh di dunia. Kebencian, diskriminasi, serta intoleransi yang dilakukan oleh homophobia juga bukan merupakan tindakan yang baik bahkan banyak kaum homoseksual yang mengalami dampak negative dan sampai berujung bunuh diri.


   Lalu untuk apa kita mengkotak-kotakan seseorang karena orientasi seksual dan identitas gender. Mereka berhak mendapatkan pengakuan oleh negara, kehidupan yang aman, serta hak-hak dasar manusia lainnya. Mari kurangi beban mereka dengan tidak melakukan diskriminasi, intoleransi, dan tindakan bullying kepada kaum homoseksual dalam lingkungan sosial. Karena tak ada manusia yang pantas disakiti dengan alasan apapun, termasuk orientasi seksual, ataupun identitas gender. Selalu ada perbedaan di antara kita, namun dalam perbedaan itu, tetap ada kesetaraan.